“Isni bukan cantik, tapi mameh (manis), kalo orang manis tu ngga bosan diliat” lerai Kak Iski dengan curahan hatiku. ” Kenapa harus cemburu dek, semua punya ciri khas sendiri… jadi keep confident aja dengan diri sendiri” sambung wanita muslimah yang menjadi teman sekaligus kakak bagiku. Sudah dua bulan kami dekat. Ukhuwah kami terjaga begitu hangat, bahkan kami belum pernah bertatap muka langsung. Ia sekarang sedang di Pare, sedangkan aku menanti peluk hangatnya penuh rasa rindu dan sayang yang semakin menggumpal ingin segera bertemu dengannya.
“Sebaik-baik wanita, wanita shalihah kan? Mudah-mudahan kita bisa menjadi sebaik-baik wanita ya dek…” ujarnya kali ini mampu sedikit meleraikan gelisahnya hatiku. Pasalnya, tiba-tiba saja gejolak cemburu mendatangiku selepas sampai di rumah. Anehnya lagi, aku cemburu pada kekhawatiran yang mutlak kuciptakan sendiri. Why? Karena lemahnya imanku selepas bersamanya dua jam.
“Gelisah takut dia suka sama orang lain ya dek… berdo’a aja sayang.., minta ditenangkan hati…” tebak Kak Iski tepat sasaran melakui WhatsApp kami yang masih menerima kalimat sehatkan hati.
Aku malu-malu mengakuinya juga. Apa dia menganggu wanita lain di depanku? TIDAK! Sekali pun tidak pernah. Lantas, kenapa rasa cemburu ini membabi buta mengusikku? Why? Sekali lagi biar keren tulisan malam ini kuulangi satu kata tanya, Why?
Heiii, dek… ingat pesan dia, ” neupeuangek jen dek…” ingatku pada pesannya dulu agar aku tidak mudah tergoda, tetapi harus bangun dari godaan dan membalas godaan syaithan dengan melawannya, bukan menerima perlakuaan syaithan yang semakin memperdaya manusia.
Kami memang bersama, duduk bercengkrama dengan teman lama dan satpam kampus juga dosen yang silih berganti. Tak kulewatkan pada lalu lalang gadis kampus yang indah menawan melintasi tempat duduk kami. Aku! Hanya aku saja yang memikirkannya, mereka cantik dan aku apaaalah. Saat itu aku hanya terbersit angin lalu, tapi… di rumah… syaithan tahu saja cara memperdayaku agar memikirkannya larut semakin larut dan larut, kalau bisa aku lengah dalam satu shalat.
‘Meu’ah jen, hana jatah droen. Na angek kah jen?’ Aku pun bisa mengatakan itu, andai bisa kulihat rupa syaithan yang sedari tadi menggerutu usil pada hatiku yang sangat menyayanginya, akan kuteriakkan dengan lantang agar ia tidak lagi mengusiliku dengan remeh temeh pikiran busuk membuatku layu dan rapuh. Ingin kuteriakkan, “Maaf Jin (Syaithan), bukan giliranmu. Ada kecewa kamu, Jin?”