I’m Back!

Waw, ga tau harus katakan apa. Seperti merasa bercucuran dosa karena setahun lebih baru ni hari bertandang balik. Setelah ambil sapu dan kain pel, sukses jadi upik abu deh guek. Hahha

so, hay.. I`m come back to serbaserbikata.wordpress.com yeaah

dan yang guek kangenin di sini adalah, cerepetan kalian semua. yuhuuy, komen komen, silakan. Guek sediakan simsalabin apa yang kalian mau icip-icip deh. Haha…

bedewe, ada yang kangen nggak? Atau pada nggak ingat lagi sama guek ya? Fufufu *crying*

Na Angek Kah, Jen?

image

“Isni bukan cantik, tapi mameh (manis), kalo orang manis tu ngga bosan diliat” lerai Kak Iski dengan curahan hatiku. ” Kenapa harus cemburu dek, semua punya ciri khas sendiri… jadi keep confident aja dengan diri sendiri” sambung wanita muslimah yang menjadi teman sekaligus kakak bagiku. Sudah dua bulan kami dekat. Ukhuwah kami terjaga begitu hangat, bahkan kami belum pernah bertatap muka langsung. Ia sekarang sedang di Pare, sedangkan aku menanti peluk hangatnya penuh rasa rindu dan sayang yang semakin menggumpal ingin segera bertemu dengannya.

“Sebaik-baik wanita, wanita shalihah kan? Mudah-mudahan kita bisa menjadi sebaik-baik wanita ya dek…” ujarnya kali ini mampu sedikit meleraikan gelisahnya hatiku. Pasalnya, tiba-tiba saja gejolak cemburu mendatangiku selepas sampai di rumah. Anehnya lagi, aku cemburu pada kekhawatiran yang mutlak kuciptakan sendiri. Why? Karena lemahnya imanku selepas bersamanya dua jam.

“Gelisah takut dia suka sama orang lain ya dek… berdo’a aja sayang.., minta ditenangkan hati…” tebak Kak Iski tepat sasaran melakui WhatsApp kami yang masih menerima kalimat sehatkan hati.

Aku malu-malu mengakuinya juga. Apa dia menganggu wanita lain di depanku? TIDAK! Sekali pun tidak pernah. Lantas, kenapa rasa cemburu ini membabi buta mengusikku? Why? Sekali lagi biar keren tulisan malam ini kuulangi satu kata tanya, Why?

Heiii, dek… ingat pesan dia, ” neupeuangek jen dek…” ingatku pada pesannya dulu agar aku tidak mudah tergoda, tetapi harus bangun dari godaan dan membalas godaan syaithan dengan melawannya, bukan menerima perlakuaan syaithan yang semakin memperdaya manusia.

Kami memang bersama, duduk bercengkrama dengan teman lama dan satpam kampus juga dosen yang silih berganti. Tak kulewatkan pada lalu lalang gadis kampus yang indah menawan melintasi tempat duduk kami. Aku! Hanya aku saja yang memikirkannya, mereka cantik dan aku apaaalah. Saat itu aku hanya terbersit angin lalu, tapi… di rumah… syaithan tahu saja cara memperdayaku agar memikirkannya larut semakin larut dan larut, kalau bisa aku lengah dalam satu shalat.

Meu’ah jen, hana jatah droen. Na angek kah jen?’ Aku pun bisa mengatakan itu, andai bisa kulihat rupa syaithan yang sedari tadi menggerutu usil pada hatiku yang sangat menyayanginya, akan kuteriakkan dengan lantang agar ia tidak lagi mengusiliku dengan remeh temeh pikiran busuk membuatku layu dan rapuh. Ingin kuteriakkan, “Maaf Jin (Syaithan), bukan giliranmu. Ada kecewa kamu, Jin?”

Aku Rindu

Aku merindukanmu tiap menit. Hantaman detik demi detik jam dinding kamar mengaduk rinduku kian menjadi. Sedangkan di balik jendela kaca, rintik hujan mencoba menembus, menusukku, rindu semakin dekat, mendekapku seolah-olah itu dirimu yang datang menjengukku sayang.

Kata mereka, jika rindu sudah cetar membahana. Bukalah album fotonya. Bagiku tidak, rindu ini bukan pada pandangan wajahmu, kau jelas tidak tanpam, tapi rindu ini cukup dengan membaca surat suratmu yang telah usang. Sesekali jika jerit hati tak tertahan memanggil namamu, aku akan muncul lewat 12 digit no ponselmu. Apa kabarmu di sana? Apa ada hujan? Aku tidak bosan menanyakan dua hal itu. Selanjutnya aku lega dalam tidur dan doa sebelum tidur.

Selamat malam sayang, aku rindu, rindu dalam detik-detik kita tidak bertemu.

#bermalam di rumah baru (Rumah sakit) dengan segumpal rindu untukmu.

Ujian Terakhir

Akhirnya, dengan postur tubuh yang masih kayak anak SMA, syukur-syukur mereka bilang gitu, nggak dibilang masi SMP. Geleng-geleng kepalalah aku. Yaa maklum masih segar aja nih, kok bisa Isni?
Ceria donk jangan mewek mulu hari-hari. #kayak diri uda ga mewek aja kamu Is. 😀

Rasanya baru kemarin saya posting tulisan tentang Semester 7. Eee sekarang uda detik-detiknya minggat dari semester 7 terus siap-siap jadi masasiswa tingkat akhir. Besok saya final terakhir, MK Fisika Kuantum. Apa bisa saya benar-benar menjadikan besok adalah ujian terakhir saya di perkuliahan? Waw! Susah ni.

Saya uda mintak doa dari Emak dan Ayah biar nilai semester ini kudu bagus, jadi bisa tentram hati dan badan mikir skripsi. Allahumma amin.

image

Apa bisa ya?
Apa bisa ya?
Apa bisa ya?
Bisa dapat nilai bagus semester akhir ini dan habis mata kuliah.
Insyaallah bisa. ‘Yang penting do’a’ kata doi.

Rasanya mau jadi mahasiswa akhiiiiiiiir ituuuuu… kayak punya kecap manis. Bisa dimakan dengan tempe. Tempenya itu skripsi. Nyuuimmmi…. 😀

Serambi Unik Doi

Doi tiba-tiba berhasil ngangkatin sekantung beras dipelupuk mata guek. Pliz deh, secepat kilat guek langsung ngesot dari kasur dan lari nyari koran hari ini.

Bolak balik deh guek itu koran nyariin hal utama, weeew malah ngilang. Guek kecewa berat dan sekarang sekantung penasaran nyangkut di mata. Nyariiii trussss nyari tapi tetep aja kagak ketemu berita yang merujuk ke alasan permintaan doi, “ci kalon ile” pintanya untuk mencari melihat sendiri beritanya apa.

Biasanya, doi mintain guek geledah koran itu karena ada nama doi dalam berita, noh guek dengan semangat 45 kayak kucing kagak makan selama lima hari. Kasam kusuk. Kekeeeeh bangwt nyari berita sampe yang doi maksud ketemu.

Tapi, di halaman terakhir berita hari ini nyebutin tentang club bola yang doi dulunya jadi striker andalan. Tapiii, selain nggak ketemu nama doi, doi pun sudah lama nggak main bola lagi. So? Kenapa kali ini doi minta guek buka koran?
Baca lebih lanjut

Tiga Komponen Pengundang Galau

Galau, tentunya semua dari kita dekat sekali dengan satu kata itu. Teman saya mencoba menjabarkan kepanjangan kata tersebut dengan gelisah antara lanjut dan udahan. Ow ow… 😀

Kebetulan aja galau itu bener-bener ada dan jadi momok menakutkan di waktu tak tepat, misalnya ketika mau makan, buang hajat. Oooops. Sorry, hehe…kayak saya kemarin tiba-tiba galau berat saat mau nyuci piring. Aduddu… sampe berkali-kali emak merepet hal yang sama, nah sayanya masih berkutat dengan bantal. Jahat emang si galau itu. Tapi apa bener galau itu datang tanpa diundang? Eleh eleh acem jelangkung saja.

Pikiran, hati dan jiwa itu Tuhan satukan dalam satu raga. Bersama ketiganya, tanpa kita sadari ada peperangan dalam diri kita. Tak perlu mencari contoh yang jauh, lihat saja diri sendiri dan apa yang kalian rasakan.

Saya pernah merasa tidak harus membeli majalah terbaru. Oleh hati saya ingin sekali memilikinya sehingga dapat mebacanya puas. Tetapi raga saya malah melewati toko majalah dan hanya melirik sekilas. Sudahlah! Anggap saja sudah, saya harus membawa motor untuk menjemput adik terlebih dahulu.

Oke. Fine! Itu memang yang terbaik. Atau terpaksa, dan menyesal. Kenapa tadi tidak menyempatkan berhenti barang lima menit saja untuk membeli. Pikiran membela, kalau kamu membeli… memilih saja bikin waktu kececeran. Hati tak mau kalah, aku maunya majalah itu. Sudah pasti belinya yang itu, Non. Jiwa mendengus kesal, oy! Ini sudah malam, mau saya ambilkan golok sekalian?

Perang dingin bisa terjadi ketika kita tidak konsisten pada apa yang ingin kita capai. Mau marah, kesal, atau sekedar kecewa tidak akan membalikkan keadaan. Membenahi diri dan mencoba berdamai lebih menguntungkan ragamu sendiri.

Maka dari itu, kita sering mendengar perang yang paling menggelikan adalah melawan diri sendiri. Teruslah mengajak hati, pikiran dan jiwa agar galau pun segera redam. Pandailah kamu jika dengan ragamu terlebih dahulu menolak galau.

“Sorry, Galau. Kami kompak. Elu mending cari sasaran lain aja deh!”

Mirza

Namanya Mirza. Bocah, aku suka mengatainya bocah. Karena dia yang paling kecil di kelas, dia pula si otak matematika. Usia paling muda, cerewet berbusa. Mirza, terlalu usil untuk kusebut dia bocah pada semester depan. Jika temannya mengumbar janji, ia tidak. Bicara ceplas-ceplosnya bukan tidak tau sopan santun, tetapi dia begitulah dia. Paling geram kalau dia berkata, ‘naam naam ummi’ kalau saya sudah terlalu rewel dimatanya, sedangkan dimataku, sumpah dia paling paling paling rewel. Lalu, dimana Mirza hari itu. Enam dari kami mulai linglung membicarakannya, Alman… teman seliter-U menjadi sorotan. Alman kebingungan, raut mukanya menegang sendiri. Kami pun terbahak. Tapi Mirza tidak terbahak. Dimana Mirza?

Muslimah, seperti apakah kamu itu?

Aku telah membaca banyak buku terkait namamu. Tapi yang kudapatkan adalah penjelasan yang berbelit. Aku kesembelit tidak memahami. Sulit! Sungguh sulit menjadimu!

Bidadaraku, bersabarlah sedikit lagi

Menjadi yang dipilih memang tidak mudah. Kiri-kanan sedang bergilir ceritera muslimah. Nama itu benar-benar ada lagi. Lagi dan lagi. Sungguhan kah?
Lantas, seperti apa muslimah. Aku ingin berkenalan dengannya. Sekejap bolehkan diri ini melihat barang bernama muslimah. Teori sudah tak lagi dapat kutelan. Muntah! Baca lebih lanjut